Informasi Pengiriman Tulisan

Untuk teman-teman yang ingin mengirimkan tulisan berupa artikel atau review film/buku/website untuk dimuat di blog ini dapat langsung mengirimkannya ke alamat email bandungcircle@yahoo.com

Thursday, March 15, 2007

Buku...buku dan buku.....

Sebagai mahasiswa HI yang baik, tentunya kita harus selalu membaca, membaca dan membaca. Kenapa? Salah satu alasannya adalah biar referensi kita untuk "ngemeng" makin banyak...setuju??

Nah....dalam rangka membantu komunitas HI Bandung untuk lebih mudah mencari buku-buku referensi kuliah, kita menjual buku-buku HI dengan harga 'miring' dan kualitas copy terjamin!

Katalog buku yang dijual bisa dilihat dan didownload disini.

Untuk pemesanan dan pembayaran, bisa langsung hubungi redaksi Bandung Circle Community di kampusnya masing-masing.

Tuesday, March 13, 2007

Jakarta oh Jakarta....

Kisah sebuah perjalanan yang ditulis oleh Perez Amping.........dan beberapa tambahan komentar ga penting oleh Andika Putraditama.....


10 Maret 2007, 05.30 pagi.
Mau berangkat...

Sesuai rencana yang telah kami susun satu minggu sebelumnya, pada hari itu kami akan berangkat ke Jakarta. Jujur aja, cuaca pada pagi itu sangat mendukung untuk tidur...tapi ya sudahlah, demi FKMHII gw jabanin..ciyeeee...

Busyett...gw yang nyampe jam 05.45 ternyata blom ada satu batang hidung pun yang nongol. Bahkan ketika waktu sudah menunjukkan pukul 06.00, baru sebagian yang muncul, tapi beberapa menit kemudian baru ketahuan kalo ada beberapa dari kami yang cukup konyol menunggu di pos satpam, bukannya di Pendopo Masjid tempat kami janjian ngumpul..tapi gpp, anggap aja mereka masih kena sindrom pagi hari, otak mereka masih harus di defrag dulu...[Bebek: “Rez!! Itu bukan konyol!! Tapi efektif! Pos satpam kan lebih deket ama gerbang!!”]

Setelah menunggu kemunculan ibu Aci yang pada pagi itu berdandan mirip anak TK—mungkin menyesuaikan dengan kelakuan kalee ya (hehe..bcanda Ci!!)—kami pun berangkat ke Jakarta. Kami berangkat dengan dua mobil. Mobil yang gw tumpangin seharusnya hanya diisi oleh 7 kepala manusia, tapi pagi itu diisi oleh 10 kepala!! Hwakakak....walhasil kami terlihat seperti ikan pindang....but nevermind....seru lagi!

Dalam perjalanan ke Jakarta kami terlibat dalam beberapa perbincangan yang seru, mulai dari masalah film “Jomblo”—gw dan bebek suka ama tu film, anehnya Ina (yang notabene lagi jomblo) gak suka ama tuh film. Kami bahkan sempat terlibat dalam obrolan yang membuat kami terlihat seperti masyarakat tradisional dalam stage of economic growth dari Rostow. Ya...kami membicarakan masalah hantu. Tapi yang paling seru adalah perbincangan kami mengenai feminisme. Ddebatnya panjang banget, tapi satu yang pasti, Ina akhirnya tau kalo mu menggambarkan cowok playboy [Ina: “Cowok itu buaya yah!!”], buaya bukan binatang yang pas. Kenapa? Karena ternyata buaya adalah binatang yang paling setia!! Penjelasan lebih lanjut silakan hubungi saya.

09.35
Jakarta…ibukota tercinta…

Akhirnya, kami tiba juga ditujuan, Universitas AL-Azhar Indonesia. Tujuan kami datang memang untuk mengklarifikasi beberapa hal, tapi gak usah dibahas disini, secara udah clear semuanya....

Nah, yang membuat gw senang dengan perjalanan ini adalah kejadian-kejadian sesudahnya. Kami makan siang bersama di Senayan City, disini kami menganalisa orang-orang yang kami lihat, terutama perempuan. Ada data menarik yang buat gw luar biasa—tapi buat bebek sangat menggiurkan—ternyata 5 dari 10 ibu di Jakarta cantik!! Selain itu 2 dari 10 pasangan di Jakarta berciuman didepan umum, khususnya di eskalator!! Hwakakak...statistik yang aneh...

Kemudian Haris dkk, muncul, dia juga memberikan kuliah umum kepada kami mengenai sejarah nasional Indonesia—untuk yang ini, panjang banget, bahkan ketika kita dah nyampe ke Bandung, dia masih ngasih ceramah tentang sejarah nasional Indonesia via handphone—tapi sayangnya beberapa dari kami harus kembali ke Bandung, jadi yang tersisa di ibukota cuma Yayat, Galih, Aci, Ina, Bebek, dan gw sendiri.

Dengan ditemani oleh beberapa anak Jakarta, kami mengabulkan keinginan bebek, ya, tour de jakarta naik busway dengan tujuan akhir Monas! [Bebek: “Tanpa bermaksud mengurangi esensi tulisannya Perez, saya klarifikasi pada pembaca...Bukan hanya gw yang semangat naek busway!! Ina ama Perez juga penyumbang suara terbesar!!”]......ntuk yang satu ini gw gak akan terlalu malu nyeritain ke lo semua, secara gw ada teman....bebek...hwakak. Ternyata kami berdua belom pernah naik busway—dan sumpah demi bintang-bintang dilangit—selama perjalanan bebek selalu tersenyum. Biar gak malu-maluin anak Bandung, kami sengaja mengaku menjadi turis dari Bali (Bebek: Ya...dengan cara mengaku sebagai mahasiswa jurusan Sastra Mesin dan Psikologi Pertanian Universitas Udayana!!)

Oia, ada yang aneh ketika kami bertamasya naik busway, kami mendapati pemandangan dimana ditengah jalur busway, terdapat sebuah pohon tua yang terlihat keramat—lagi-lagi masyarakat tradisional, kayaknya Rostow, melakukan penelitian di Indonesia deh. Dalam perjalanan ke monas, kami sempat berfoto bersama dengan latar lambang negara kita—burung garuda, secara kami nasionalis gitu! Dan juga berfoto didepan istana—tapi ga jadi karena batere kameranya keburu abis!

Tapi sayangnya Monas udah ditutup, dan dengan tololnya kami—terutama Haris—secara sukarela membiarkan diri kami dibodohi oleh pekerja renovasi Monas yang bilang dengan yakinnya kalo Monas masih buka!! Walhasil kita ngelilingin Monas doang. Ternyata kuli bangunan bisa juga ngerjain mahasiswa.....

Setelah itu kami memutuskan makan malam dijalan Sabang...well kejadian sesudahnya tetap berjalan seru, rame, dan sangat kocak—terutama dengan kehadiran Heni UPDM(B) yang seharian penuh menjadi objek penderita.


The end of story...

Kalo mu gw ceritain semuanya disini kayaknya terlalu panjang, males ngetiknya gw. Tapi yang pasti ada banyak hal yang kami petik dari perjalanan kami ke Jakarta ini. Ina misalnya, dia akhirnya mampu melihat sisi lain dari seorang Haris. Gw dan bebek yang dengan kemampuan mengkhayal tingkat tinggi kami berhasil membuat cerita tentang masa depan anak2 FKMHII dimana dalam cerita tersebut kami berdua menjadi agen Mossad dan CIA!! Semuanya bermula dari mobil diplomat yang diparkir dengan tempat khusus dipelataran parkir Senayan City. [Bebek: Untuk teman2 pembaca dan pendengar setia yang penasaran dengan kisahnya, tunggu aja penerbitan novel kami berdua! Haha!!].

Tapi yang paling penting buat gw, selama gw terlibat dalam FKMHII baru kali ini kata-kata persatuan dan persaudaraan yang selalu kita ucapkan, benar-benar gw rasakan...Oooooo...so sweet...Kami bahkan berharap suasana PSN dan PNM bisa seperti suasana pada saat itu, penuh canda tawa. Semoga untuk menciptakan suasana seperti ini lagi tidak harus dimulai dengan sms iseng—gak lagi-lagi yah Aci dan Galih!! Soalnya sekarang giliran bebek, dia mu buat masalah ma anak jogja, biar kita bisa jalan-jalan ke jogja!! Semoga...hehe..


Tour de Jakarta: Ami, Citra, Yuseph, Ina, Andika, Galih, Aci, Yayat, Mo, Makky, Lili, Angel, Perez. Thanks to : FKMHII Wilayah 2, KOMAHI Al-Azhar, dan teman-teman yang menemani kami selama di Jakarta, Haris, Deva, Reza, Heni, Mia, dan beberapa teman yang lain yang mungkin terlewat, thank you so much....(kayak speech artis2 sewaktu penyerahan piala oscar aja)...

Thursday, March 8, 2007

[Book Review] The Tragedy of Great Power Politics

John Mearsheimer
The Tragedy of Great Power Politics
(New York: W. W. Norton, 2001, 555 hlm.)


Oleh: Galih Priya Sejati
Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran

Pada tahun 1990-an, para pemikir neo-realis mulai terbagi kedalam dua divisi, yaitu defensive dan offensive realism. Dipelopori oleh Kenneth Waltz melalui bukunya yang berjudul Theory of International Politics, kaum defensive realist memiliki pandangan bahwa sebuah negara yang tergolong great powers lebih memilih untuk mempertahankan status quo daripada meningkatkan kapasitas powernya, hal ini dikarenakan harga yang harus dibayar untuk melakukan ekspansi umumnya lebih besar daripada keuntungan yang akan mereka dapatkan. Selain itu, defensive realist menganggap bahwa kerjasama yang terjalin diantara great powers dapat mengurangi risiko dari sistem internasional yang anarki dan akan memperkecil dampak dari security dillema. Jadi, teori mereka dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya peningkatan kerjasama yang berkelanjutan antara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat setelah Perang Dingin, yang menjadi akhir dari perang diantara dua great powers.

Di pihak lain, offensive realist berpendapat bahwa semua great powers akan selalu mencari kesempatan untuk mendapatkan power yang lebih dari rival-rivalnya, dengan hegemoni sebagai tujuan utamanya. Inilah klaim yang dibuat oleh John Mearsheimer dalam bukunya The Theory of Great Power Politics. Dia juga mengatakan bahwa pengaruh offensive realism dalam bidang akademik dan kebijakan masih sangat kurang, karena tidak didukung oleh buku-buku yang sophisticated untuk menjelaskan prinsip-prinsip dari offensive realism. Mersheimer menginginkan buku ini menjadi seperti bukunya Waltz, yang sukses menjelaskan defensive realist.

Bab II mungkin merupakan bagian terpenting dalam buku ini, hal ini dikarenakan Mearsheimer menjelaskan tentang asumsi-asumsi dasar dari offensive realism. Bagi Mearsheimer, great powers merupakan aktor rasional yang beroperasi dalam sebuah sistem yang anarki, yang memaksa mereka untuk saling berkompetisi untuk mempertahankan kedaulatan masing-masing. Yang menjadi tujuan akhirnya bukanlah struggle for power, melainkan bagaimana mereka dapat bertahan dalam dunia yang bersifat self-help. Serupa dengan defensive realism, teori Mearsheimer juga mencakup teori struktural dari politik internasional. Namun, offensive realism dan defensive realism berbeda dalam menjawab pertanyaan mengenai seberapa besar power yang diinginkan oleh negara. Menurut defensive realist, negara menginginkan terwujudnya balance of power, sedangkan offensive realist percaya bahwa tujuan utama dari negara adalah untuk menjadi aktor yang hegemon dalam sistem internasional. Jadi, Mearsheimer melihat bahwa ketika memiliki kesempatan, negara akan mengambil langkah-langkah offensive yang akan membuat mereka memaksimalkan relative power yang dimiliki untuk mencapai hegemoni.

Seperti pemikir neo-realis yang lain, Mearsheimer menganggap bahwa semua great powers pasti bertindak secara agresif, baik dalam sistem politik maupun ekonomi internasional. Karena jika tidak demikian, itu akan menyebabkan kejatuhan mereka. Ketika suatu negara akan menjalin kerjasama dengan negara lain untuk menciptakan tata dunia baru yang dapat memperkecil risiko dari sistem yang anarki, Mearsheimer berpendapat bahwa kerjasama tidak akan dapat terjalin dalam jangka waktu yang lama, karena masing-masing negara akan takut dan saling curiga bahwa negara lain dapat mencurangi sistem yang ada untuk mendapatkan lebih banyak power. Ketika terjalin kerjasama diantara sesama great powers, hal itu akan dipengaruhi oleh logika offensive realism. Dengan kata lain, negara dapat membentuk sebuah aliansi untuk menghalangi atau mencegah aktor lain membangun sebuah kontrol hegemoni di suatu wilayah atau mungkin di dunia.

Tujuan utama dari great powers, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah hegemoni. Namun, Mearsheimer mengatakan bahwa negara great powers yang paling kuat hanya akan dapat mewujudkan hegemoni regional, karena hegemoni global sangat sulit untuk diwujudkan selama masih adanya perebutan power untuk meraih hegemoni regional di seluruh wilayah dunia. Maka, dia berpendapat, bahwa tidak akan pernah tercipta sebuah hegemoni global di dunia ini. Dia juga menambahkan, meskipun AS merupakan satu-satunya regional hegemon saat ini, tapi banyak great powers lain yang sedang berusaha untuk menjadi regional hegemon sebagai tahapan untuk mewujududkan hegemoni global. Tetapi, AS akan tetap meningkatkan powernya karena mereka sangat takut akan munculnya regional hegemon baik di Eropa maupun Asia yang dapat mengancam kontrol dan pengaruh mereka terhadap Dunia Barat.

Apakah sumber power dari negara-negara great powers? Strategi-strategi apa saja yang dapat mereka lakukan untuk memenuhi kepentingan nasionalnya? Jawaban atas dua pertanyaan penting ini dapat ditemukan pada Bab II sampai dengan Bab V buku ini. Bagi negara yang menjadi great powers, mereka harus memiliki kapabilitas untuk memproyeksikan power diluar wilayahnya. Dengan kata lain, mereka butuh untuk membangun sebuah kekuatan militer yang hebat. Selain itu, great powers juga harus bisa mewujudkan unsur-unsur sosial-ekonomi mereka, seperti kemakmuran ekonomi dan jumlah populasi untuk mendukung terbentuknya kekuatan militer. Jadi, great powers membutuhkan uang, teknologi, dan personil untuk membuat pasukan militer yang siap untuk berperang. Hal ini dikarenakan negara-negara great powers sangat mengandalkan aspek sosial-ekonomi tersebut, yang disebut Mearsheimer sebagai “latent power”, dalam persaingan untuk mencapai hegemoni global. Great powers juga dapat memanfaatkan “latent power” ini dalam masa-masa krisis.

Kapabilitas militer memang dianggap sebagai kekuatan utama dari great powers, Mearsheimer berpendapat bahwa untuk mencapai hegemoni global, great powers harus menginvestasikan sumber daya yang mereka miliki untuk membentuk tentara atau angkatan bersenjata yang terlatih. Menurut Mearsheimer angkatan laut dan udara adalah unit militer yang penting, ini dikarenakan mereka dapat membawa pasukan dalam jumlah banyak ke wilayah peperangan dan juga membatasi kemampuan musuh untuk menggerakan pasukannya, tetapi yang terpenting adalah angkatan darat, karena hanya unit inilah yang dapat menaklukkan dan mengontrol teritori musuh yang umumnya daratan. Jadi, angkatan laut dan udara dapat digunakan dalam memaksa negara lain untuk tunduk atau kalah dalam pertempuran, tapi pada akhirnya, kemenangan total hanya akan dapat terwujud melalui penaklukan wilayah.

Selanjutnya, Mearsheimer berpendapat bahwa diplomasi yang disokong oleh kekuatan militer juga merupakan instrumen penting bagi great powers ketika mereka ingin menghalangi negara lain yang berusaha untuk mewujudkan hegemoni. Oleh karena itu, dua mekanisme utama yang dilakukan oleh great powers untuk mewujudkan tujuan itu adalah dengan balancing dan buck-passing. Dalam balancing, great powers dapat membentuk aliansi dengan negara lain, melakukan ancaman dengan kekuatan militernya, atau memobilisasi pasukan untuk peperangan demi tujuan hegemoni. Sedangkan buck-passing menurut Mearsheimer merujuk pada usaha yang dilakukan great powers dengan cara menggunakan negara lain untuk memikul beban atau sebagai tameng dari usaha menghalangi atau kemungkinan berperang terhadap negara agresor. Jadi dalam buck-passing, great powers tersebut tidak terlibat langsung dalam peperangan, mereka hanya menyokong dana dan senjata kepada negara yang menjadi tamengnya tersebut. Negara-negara great powers cenderung untuk memilih langkah buck-passing dibandingkan balancing, hal ini dikarenakan biaya dan risiko yang mereka tanggung lebih kecil, sedangkan keuntungannya bisa sangat besar.

Bab VI sampai dengan Bab VIII berisi tentang beberapa kasus untuk membuktikan pernyataan-pernyataan sebelumnya. Pendapatnya mengenai great powers yang selalu mencari kesempatan untuk mendapatkan power yang lebih dari musuhnya dengan hegemoni sebagai tujuannya, dapat dibenarkan dengan melihat kasus-kasus seperti Jepang (1868-1945), Jerman (1862-1945), Italia (1861-1945), dan Uni Soviet (1917-1991). Tetapi menurutnya saya pernyataan ini dapat dilemahkan dalam kasus Amerika Serikat (1800-1990) dan Kerajaan Inggris (1792-1945), yang mengambil kebijakan untuk tidak melakukan ekspansi power, meskipun keduanya memiliki kapabilitas untuk melakukan hal tersebut. Pada kasus Inggris, saat itu mereka tidak berhasil mencapai hegemoni regional di Eropa meskipun banyak melakukan penaklukkan di wilayah lain, sedangkan AS, sebagai negara yang memegang hegemoni Dunia Barat, memutuskan untuk tidak meneruskan hegemoninya di Eropa dan Asia.

Mearsheimer menganggap bahwa dua kasus tersebut tidaklah bertentangan dengan teorinya. Dia berpendapat bahwa dua negara great powers ini memutuskan untuk tidak melakukan ekspansi dikarenakan oleh apa yang disebut “stopping power of water”. Tapi hal ini bertentangan dengan kemampuan Jepang untuk menaklukkan wilayah yang sangat luas dan menjadikannya sebagai regional hegemon. Mearsheimer menjelaskan bahwa Jepang menemui sedikit perlawanan karena Cina pada saat itu bukanlah great powers, dan Uni Soviet lebih cenderung untuk melakukan ekspansi ke Eropa. Penjelasan yang dapat masuk diakal atas pertanyaan mengapa AS dan Inggris tidak melakukan ekspansi adalah dikarenakan kedua negara tersebut mungkin memiliki kepentingan yang berbeda dan bahwa nilai-nilai politik dan ekonomi mereka pada saat itu bertentangan dengan logika offensive realism. Menurut Mearsheimer, AS dan Inggris merupakan negara great powers yang menganut demokrasi liberal. Terlihat bahwa pernyataan Mearsheimer mengenai semua great powers akan bertindak dalam pola yang sama, tidak peduli apa sistem pemerintahan yang mereka anut, dapat digoyahkan.

Lalu, bagaimana dengan kemampuan AS untuk mengontrol Dunia Barat tanpa melakukan penguasaan wilayah? Hal inilah yang tidak dapat dijawab oleh Mearsheimer dalam buku ini. Jika ekspansi power hanya bisa dilakukan oleh great powers yang dapat menaklukkan dan mengontrol suatu wilayah, lalu adakah cara lain yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hegemoni regional yang tidak disebutkan oleh Mearsheimer? Bagi saya ini merupakan pertanyaan penting mengingat teorinya dengan jelas mengakui bahwa perang adalah satu-satunya jalan bagi negara untuk dapat mewujudkan hegemoni regional dan global. Fakta bahwa negara-negara lain tidak berusaha untuk mengimbangi AS dalam melakukan hegemoni regional juga bisa menyangkal pernyataannya.

Teori Mearsheimer juga menjelaskan posisi diplomatik AS dan Inggris. Kedua aktor tersebut mempraktikkan strategi balancing dan buck-passing untuk menghalangi munculnya hegemoni di wilayah Eropa dalam kasus Inggris, dan hegemoni di wilayah lain untuk kasus AS. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedua negara “off-shore balancers” ini bertindak berdasarkan logika offensive realism. Tetapi sekali lagi masih terdapat masalah dalam teori Mearshaimer. Mengapa AS bertindak berdasarkan logika offensive realism hanya untuk mengimbangi Jepang dan Jerman, tetapi tidak ditujukkan untuk mewujudkan hegemoni global? Apakah mereka sudah merasa puas dengan status quo? Apakah mereka juga menganggap bahwa biaya yang dibutuhkan untuk ekspansi lebih besar dari keuntungan yang akan mereka peroleh? Jika demikian, ini berarti bahwa logika defensive realism lebih dapat menjelaskan kebijakan luar negeri AS selama tidak semua negara masih menganggap pentingnya meningkatkan kapabilitas power.

Sangat sulit untuk mengatakan bahwa buku ini akan dapat menyamai buku-buku defensive realism, terlebih lagi bukunya Kenneth Waltz. Meskipun buku ini menjelaskan alasan mengapa negara berusaha untuk mencapai hegemoni regional, klaim tersebut dapat dipatahkankan dengan analisnya yang lemah terhadap kebijakan luar negeri AS. Dapatkah nilai-nilai demokrasi liberal AS menjelaskan kondisi anomali ini? Jika bisa, seberapa kuatkah prediksinya terhadap masa depan, dalam dunia dimana negara-negara semakin menjunjung tinggi demokrasi?

Meskipun begitu, menurut saya buku ini sudah sangat cukup untuk menjelaskan teori offensive realism, hanya saja masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan teori tersebut.

Referensi

Waltz, Kenneth. 1979. The Theory of International Politics. New York: McGraw-Hill.

Friday, March 2, 2007

Informasi Jurnal

Jurnal Bandung Circle edisi pertama akan menerima tulisan dari setiap universitas dengan pembagian sebagai berikut:
  1. Artikel Ilmiah: maksimal 6000 karakter, gaya bahasa ilmiah populer dengan topik bebas (namun tetap relevan dengan bidang studi Hubungan Internasional).
  2. Review buku, film ataupun referensi website dengan panjang sekitar 2000 karakter.

Tulisan dikirimkan dalam format Microsoft Word dengan disertai biodata dan nomor kontak (HP, optional email) penulis.

Setiap tulisan yang diterima oleh redaksi akan terlebih dahulu diseleksi sebelum dipublikasikan. Notifikasi pemuatan akan disampaikan melalui email kepada yang bersangkutan.

Untuk rubrik Opini Publik, setiap kontributor di tiap universitas dapat mengirimkan hasil wawancaranya dengan format Microsoft Word disertai informasi singkat mengenai subjek wawancara serta disertai foto subjek wawancara.

Topik opini untuk edisi pertama adalah mengenai amandemen konstitusi Jepang yang berkaitan dengan ideologi pacifist Jepang.

Tentang Komunitas "Bandung Circle"

Sejarah Pembentukan

Ide Bandung Circle pertama kali muncul dalam Rapat Koordinasi Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (FKMHII) Wilayah III pada Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII) XVIII yang diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran di Pusat Kesenjataan Infanteri Bandung, November 2006 lalu. Saat itu semua institusi menyadari pentingnya untuk membuat suatu pertemuan wilayah yang sifatnya rutin dan ditujukan untuk menjaga komunikasi di dalam wilayah, dan juga kegiatan-kegiatan bersama yang berlandaskan keilmuan, yang selama ini dirasa masih sangat kurang. Dalam Rakorwil tersebut, Universitas Katolik Parahyangan secara aklamasi ditetapkan sebagai tuan rumah pertama diskusi bulanan dari Bandung Circle Forum yang kemudian diselenggarakan pada 10 Februari 2007.

Keanggotaan

Saat ini Bandung Circle beranggotakan 6 (enam) institusi. Lima diantaranya merupakan anggota dari FKMHII Wilayah III yaitu Universitas Al-Ghiffari, Universitas Jenderal Achmad Yani, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Komputer Indonesia dan Universitas Padjadjaran, serta Universitas Pasundan yang sedang diusahakan untuk bergabung kembali ke FKMHII.

Visi dan Misi

Tujuan Bandung Circle dilandasi oleh tujuan awal terbentuknya FKMHII yang tertuang dalam Deklarasi Jatinangor, yaitu “to share, to inform, and to compare the knowledge of International Relations among it members”. Ini memiliki arti bahwa Bandung Circle adalah sebuah wadah keilmuan yang ditujukan untuk membantu anggotannya dalam rangka mengembangkan Hubungan Internasional baik sebagai studi maupun fenomena, dan juga sebagai ajang silaturahmi (komunikasi) rutin diantara anggotanya. Selain itu, Bandung Circle Forum juga ditujukan sebagai wujud persatuan dan persaudaraan dari mahasiswa-mahasiswa Hubungan Internasional se-Bandung Raya, dan juga miniatur dari FKMHII yang dicita-citakan bersama.

Bentuk Kegiatan

Fokus utama kegiatan Bandung Circle mencakup ruang lingkup komunikasi dan keilmuan. Kegiatan rutin utamanya adalah seminar atau diskusi bulanan. Tuan rumah diskusi bulanan ini akan bergiliran tiap bulannya, dan bergantung pada kesiapan dari masing-masing institusi anggota, intinya bersifat sukarela. Tema diskusi dan sistematika acara ditetapkan oleh tuan rumah yang tentunya akan berbeda tiap bulannya. Bandung Circle juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk sharing mengenai masalah tugas kuliah dan juga keorganisasian.

Selain itu, Bandung Circle juga akan membuat sebuah jurnal ilmiah mahasiswa yang isinya merupakan kiriman karya tulis terpilih dari masing-masing institusi anggota. Jurnal ilmiah mahasiswa inipun dibuat oleh redaksi atau tim khusus yang telah ditunjuk.

Kemudian Bandung Circle juga telah merilis blog, dan rencananya akan segera membuat milis dan juga friendster group untuk menginformasikan semua kegiatannya, memudahkan komunikasi antar anggota. Di blog tersebut para anggota dapat mengirimkan karya tulis ilmiah, review buku, film dan lain sebagainya. Untuk kedepannya akan diusahakan pembuatan web site Bandung Circle.

Kegiatan Bandung Circle tidak hanya sekedar berkutat mengenai keilmuan saja. Untuk mengatasi kejenuhan, acara silaturahmi santai juga sering dilakukan guna mempererat persatuan dan persaudaraan antar anggota, seperti makan bareng, jalan-jalan, nongkrong bareng, dan juga kegiatan olahraga seperti sepakbola dan futsal.

Dalam setiap kegiatan rutin Bandung Circle pastinya juga disempatkan waktu khusus untuk mengadakan Rapat Koordinasi FKMHII Wilayah III yang dipimpin langsung oleh Presidium Nasional guna membahas isu-isu terkini seputar FKMHII.

Rencana kedepan, Bandung Circle juga akan melakukan kegiatan besar, yaitu National Diplomatic Conference, yang terinspirasi dari Harvard UN Model dan juga pelaksanaan Indonesian Channel 2007 yang ingin mengulangi kesuksesan acara tahun lalu.